Sabtu, 10 April 2010
MONUMEN RAWA GEDE
MONUMEN RAWAGEDE didirikan untuk mengenang Pembantaian Masal yg menewaskan 431 orang warga sipil pada tahun 1947 oleh Belanda. Monumen Rawagede Berada di Desa Balongsari, Kec. Rawamerta, Kab. Karawang, JABAR berdiri tegak sejak 1996 adalah Taman Makam Pahlawan yang di Rawagede. Monumen ini Merupakan salah satu saksi bisu dari sejarah perjuangan warga Rawagede dan sekitarnya. Nyawa dan darah tidak berdosa yang berkorban demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa Pembantaian di Rawagede
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman, dengan kata pengantar dari Prof Dr Jan Bank, guru besar sejarah Universitas Leiden. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede “hanya” sekitar 150 orang. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan
FOTO - FOTO TERKAIT MONUMEN RAWA GEDE :
Foto-foto tentang Rawagede lainnya, Klik di sini
Artikel lain tentang Monumen Rawa Gede :
- Monumen Rawagede di Mata Pelajar dan Generasi Muda Karawang
- Peristiwa Pembantaian di Rawagede
- RAWAGEDE & Sajak Chairil Anwar
- Catatan Kecil MONUMEN RAWAGEDE
- Rawagede saat ini...
- Kedubes Belanda janjikan Kompensasi Korban Tragedi RAWAGEDE
- Akses Jalan Ke Monumen Rawagede Rusak Parah
2 komentar:
Rawagede begitu banyak menyimpan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tapi mengapa dalam tautan buku sejarah, dan historis Karawang tidak terlalu dalam dibahas. Sebagai rakyat karawang saya merasa bangga Karawang menjadi salah satu bagian sejarah Indonesia, tapi mengapa pemerintah tidak merasa seperti itu??
10 April 2010 pukul 12.08belanda emang sadis
10 April 2010 pukul 14.46Posting Komentar
Lampirkan Komentar Anda